Rasisme adalah sebuah penyakit kronis yang menyedihkan
Rasisme terjadi berkali kali belakangan ini, salah satunya datang dari jagat sepak bola Internasional. Wajah sepak bola kembali tercoreng oleh tindakan menjijikan ini. Rasisme kali ini di lakukan oleh pemain senior berpengalaman, yang juga merupakan kapten Timnas Swedia sekaligus pemain Ac Milan, Zlatan Ibrahimovic kepada penyerang Inter Milan berkebangsaan Belgia, Romelu Lukaku.
Mereka berdua mengalami adu mulu saat Ac Milan dan Inter Milan bersua di Derby Della Madonnina, pertandingan tersebut berkesudahan untuk kemenangan pasukan I Nerazzurri. Gol penentu kemenangan Inter di cetak oleh pemain asal Denmark, Christian Eriksen di saat saat Injury Time.
Dalam kasus rasisme pada pertandingan ini, penyerang berpaspor Swedia tersebut di tuduh mengucapkan kata rasis kepada Lukaku, seperti dikutip dari berbagai sumber Zlatan mengucapkan kata ‘’ Ok, call your mother, Do your voodoo s*** “ ujar Ibra dikutip dari Football Italia, Rabu (27/01/2021)
Ucapan tersebut lantas memantik emosi Lukaku, Pemain berpaspor Belgia tersebut tak tinggal diam. Lukaku membalas dengan perkataan “ F*** you, and your wife “
Dalam pertandingan derby kali ini tensi pertandingan berjalan dengan tempo tinggi. Menjelang pertandingan menginjak menit ke 58, Ibrahimovic mendapatkan kartu kuning kedua, sekaligus membuat dirinya mandi lebih cepat dan membuat Ac Milan harus bermain dengan sepuluh pemain di sisa waktu pertandingan.
Alhasil diakhir pertandingan Ac Milan harus menerima kekalahan di Derby Della Madonnina.
Dengan terjadinya peristiwa rasisme di pertandingan ini, publik penggemar sepak bola di jagad raya sontak kaget dan mengecam tindakan yang dilakukan Ibra kepada Lukaku. Tak jarang, banyak juga yang turut bersedih atas kejadian yang menimpa Lukaku. Banyak dari mereka memberikan aksi simpatik kepada Big Rom, julukan Romelu Lukaku. Namun Sky Sport Italia menjelaskan, perwakilan dari Ac Milan memastikan Ibrahimovic tidak bermaksud demikian.
Rasisme di Indonesia
Rasisme yang terjadi di Derby Della Madonnina bukanlah satu satunya rasisme yang terjadi di sepak bola, tak usah jauh jauh, kali ini datang dari Indonesia, tepatnya di Piala Menpora.
Pemain Psm Makassar dan eks punggawa Timnas Indonesia, Patrich Wanggai yang menjadi korban. Peristiwa rasisme tersebut terjadi di akun sang pemain, setelah pertandingan penyisihan grup Piala Menpora, Persija Jakarta melawan Psm Makassar yang berkesudahan 0-2 untuk keunggulan Psm Makassar. Pada pertandingan itu Wanggai berhasil mencetak satu buah gol.
Setelah pertandingan, akun Instagram Wanggai pun menjadi sasaran empuk para oknum suporter yang tidak bertanggung jawab.
Ujaran kebencian dan kalimat tak senonoh bertubi tubi menghiasi kolom komentar Instagram pribadi nya, melihat situasi yang semakin memburuk, banyak pihak dari berbagai elemen sepak bola tanah air berinisiatif pasang badan, salah satu nya adalah Macan kemayoran, Persija Jakarta.
Persija mengutuk secara keras perihal perilaku rasisme yang terjadi di lingkungan sepak bola khususnya Indonesia. Dukungan tak hanya datang dari tim Ibu kota, dukungan lain juga datang dari Bali United, Persib Bandung dan tim Liga 1 lain nya.
Perilaku buruk ini pun bisa terjadi di mana pun kapanpun dan oleh siapapun, bahkan liga atau kompetisi yang terbilang unggulan di dunia pun tak luput oleh tindakan rasisme. Sebut saja Liga Premier Inggris contohnya, yang notabene Liga paling ketat dari segi aturan dan regulasi sistemnya, Liga Inggris juga terkenal kompetitif dari segi persaingan ditabel klasmen maupun persaingan di pasar komersial. Namun semua itu tak bisa menjamin sebuah tempat yang jauh dari masalah rasisme.
Masalah rasisme yang tak kunjung terselesaikan ini menarik perhatian salah satu pemain Crystal Pallace, Wilfried Zaha. Dirinya merasa sudah muak dengan aksi berlutut yang di lakukan pemain sesaat sebelum bertanding. Ia bahkan tak sudi berlutut ketika pemain lain berlutut sebelum pertandingan. (berlutut merupakan simbol perlawanan terhadap rasisme) Zaha tetap kokoh dengan pendirian nya untuk tidak berlutut.
Menurut Zaha, di kutip dari Sky Sport
“ Keputusan saya untuk tetap berdiri sebelum Kick-Off telah diketahui publik selama beberapa pekan “
“ Tak ada keputusan yang benar atau salah, tapi buat saya, Berlutut saat ini hanya menjadi rutinitas sebelum laga, dan terlepas dari kami berdiri atau berlutut sebelum laga, kami tetap saja di bully “
“ Saya tahu Premier League sudah ber usaha keras untuk melakukan perubahan, begitu juga pihak lain, Saya begitu menghormati nya, begitu juga dengan semua orang yang terlibat “
“ Saya juga menghormati rekan setim, dan para pemain tim lain yang tetap memilih berlutut sebelum laga “ tutur pemain berdarah Pantai Gading tersebut.
Harus ada tindakan nyata
Menurut nya, tindakan berlutut tidak akan berpengaruh sama sekali jikalau tidak di barengi dengan tindakan yang benar benar nyata. Zaha memberi masukan kepada para pihak pemangku media sosial agar memberikan aksi yang nyata kepada pelaku rasis. Tak jarang ditemukan bahwa pelaku rasisme adalah anak anak yang masih di bawah umur, yang aktif menggunakan sosial media.
Peranan orang tua sangatlah penting di masa sekarang ini, mengingat anak dibawah umur belum memiliki mental dan fikiran yang bisa mencerna sebuah informasi dengan jelas dan lengkap. Hal ini sudah dikatakan jauh hari oleh legenda sepak bola kelahiran Suriname, Clarence Seedorf Bahwa cara penanggulangan rasisme adalah dengan pola asuh yang baik dan pendidikan yang benar. Seedorf berpendapat bahwa
Pendidikan dalam jangka waktu yang panjang merupakan satu satunya alat untuk melawan rasialisme, ujarnya
Kampanye pun digerakkan oleh seluruh stakeholder di Liga Premier Inggris dan semua Liga yang memerangi tindakan rasisme. Dengan adanya kampanye ini, Liga Utama Inggris berharap tidak ada lagi kasus rasisme di tubuh Sepak bola.
Sumber: Berbagai sumber