Selangkah lebih dekat bersama “King Smash” Liem Swie King
Pria kelahiran 28 Februari 1956 Kudus, Jawa Tengah ini sewaktu masih aktif bermain dirinya dikenal dengan pukulan jumping smash nya.
Lompatan yang tinggi dan pukulan smash yang keras menjadi ciri khas pemain berjuluk King Smash tersebut,
tak mengherankan jika permainan Liem banyak disukai oleh penikmat Bulutangkis pada waktu itu, Liem juga sempat menghebohkan dunia Bulutangkis saat dirinya berusia 20 tahun, diusia yang masih tergolong baru menginjak dewasa, Liem sanggup menantang Rudy Hartono di final All England. Yang mana pada saat itu penampilan Rudy Hartono sedang dalam puncak karir, King bahkan berhasil menjuarai PON diusia 17 tahun.
Atlet berzodiak pisces tersebut telah mengharumkan nama Indonesia puluhan kali bahkan lebih. Disamping kehebatan King di dalam lapangan, King juga lihai dalam bermain peran di dalam film. Tercatat ia telah membintangi beberapa film antara lain
Sakura dalam pelukan 1979 yang disutradarai oleh Fritz G. Schadt.
Kisah hidup
Liem yang berasal dari keturunan Tionghoa, mendapatkan dukungan dari orang tua untuk menekuni bidang olahraga Bulutangkis. Berbeda dengan Susi Susanti yang sejak SMP mengejar mimpi nya, Liem justru merampungkan semua pendidikan wajib nya terlebih dulu sebelum mencari klub untuk mengasah bakatnya, Liem merampungkan semua pendidikan nya dari SD-SMA di kota asal nya. Selanjutnya, setelah semua selesai, Liem akhirnya bergabung dengan klub besar yang banyak melahirkan pemain-pemain hebat, yakni PB Djarum Kudus.
Di PB Djarum, Liem tergolong atlet yang sangat rajin berlatih dan pantang menyerah. Dirinya termasuk atlet generasi pertama yang mendapatkan beasiswa di PB Djarum. Di kota yang terkenal dengan “Kota Kretek” sana lah semua cerita dimulai.
Setelah menjuarai Pekan Olahraga Nasional di usia 17 tahun, nama Liem Swie King mulai di kenal luas oleh masyarakat Indonesia. Prestasi ini membuat dirinya dipanggil oleh kepelatihan timnas Indonesia pada 1973, selang 3 tahun kemudian tepatnya 1976.
Liem menggemparkan dunia Bulutangkis setelah ia mampu menembus partai final All England dan menantang seniornya yang sedang mengincar gelar yang ke delapan, sekaligus menjadikan Rudy Hartono sebagai pemegang gelar terbanyak tunggal putra All England. Alhasil Liem harus mengakui kehebatan dari seniornya, dan harus puas menjadi Runner-up, rasa penasaran Liem terhadap All England masih berlanjut di tahun berikutnya, Liem harus puas bernasib sama seperti tahun sebelumnya, hingga akhirnya di tahun 1978 dan 1979. Dua tahun berturut turut Liem mampu menjadi yang terbaik di All England.
Dirinya juga mempunyai rekor tersendiri, rekor tersebut adalah. Liem tak pernah kalah bertanding selama 33 bulan melawan siapapun
Kontroversi di Final All England 1976
Kabar tidak menyenangkan hadir melibatkan salah satu final All England yang terjadi pada tahun 1976 yang mempertemukan antara sesama pemain Indonesia, yakni Liem swie king melawan Rudy Hartono. Partai yang di gelar di Wembley Arena, London tersebut mempertemukan antara Junior melawan Senior. Banyak para penonton Bulutangkis kala itu menjagokan Liem swie king berkat penampilan ganas nya sejak babak awal. Babak awal sampai final dilewati dengan mulus oleh King smash. Sebaliknya, Rudy Hartono harus bersusah payah untuk mencapai partai final setelah sebelumnya dibabak semi final dipaksa bekerja keras saat bertemu dengan wakil Denmark Flemening delfs.
Namun saat pertandingan final di mulai, terlihat antiklimaks bagi Liem swie king. Ia seolah tak berdaya menghadapi Rudy Hartono, semua ekspektasi penonton nampaknya telah salah. Dan akhirnya Rudy lah yang keluar sebagai juara sekaligus menjadikan nya pemegang gelar juara terbanyak tunggal putra All England hingga saat ini.
Banyak sekali perdebatan mengenai hal ini di kalangan pecinta Bulutangkis tanah air, tak sedikit dari mereka beranggapan bahwa Liem swie king dipaksa untuk mengalah, agar Rudy bisa mencetak sejarah sebagai pemain dengan gelar juara terbanyak di All England, toh tidak ada rugi nya bagi Liem, kan sama sama untuk Indonesia.
Kontroversi ini tak timbul begitu saja, ada asap pasti ada api. Asal mula kontroversi ini muncul ialah melalui salah satu kutipan di dalam buku “Panggil aku King” ditulis oleh Robert Adhi KSP, tentang final All England 1976 sampai menjadi highlight di halaman sampul belakang biografi tersebut. Disitu tertulis
“Aku sungguh menyesal tidak bermain habis-habisan sampai ‘berdarah-darah’ dalam partai final All England itu,” ujar Liem di buku itu.